GAMBARAN FISIKAWAN MEDIS DI INDONESIA

Pendahuluan
        Sejak tahun 2007 profesi Fisikawan Medis secara resmi telah diakui oleh pemerintah sebagai tenaga kesehatan yang dicakup dalam kelompok Keteknisian Medik yang tertuang dalam SK Menteri Kesehatan RI No. 048/MENKES/SK/I/2007. Untuk pembinaan karir bagi Fisikawan Medis yang bekerja di sektor pemerintah telah ditetapkan Jabatan Fungsional Fisikawan Medis oleh Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara yang diatur dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara No. PER/12/M.PAN/5/2008.
     Kebijakan pemerintah tersebut adalah berita yang sangat baik bagi insan Fisikawan Medis dan Kemenskes sendiri, juga bagi pihak-pihak lain yang terkait, seperti perguruan tinggi, rumah sakit, Batan dan Bapeten. Namun Fisikawan Medis sebagai salah satu profesi tenaga kesehatan yang sejajar dengan tenaga profesi lain, misalnya Dokter dan Radiografer medik, belum diketahui secara luas oleh anggota masyarakat.
         Ketidakpopuleran profesi Fisikawan Medis ini sangat dapat dipahami mengingat tugas pokok dan fungsi Fisikawan Medis tidak sama dengan kedua tenaga kesehatan tersebut. Dokter adalah tenaga profesi yang langsung berada di garda depan, menangani diagnosa dan pengobatan pasien, demikian halnya Radiografer berada di garis depan yang berhubungan langsung dengan pasien ketika prosedur radiologi dilakukan. Sedangkan Fisikawan Medis hanya berada “di balik layar” bagian radiologi karena peran Fisikawan Medis, diantaranya melakukan pengujian kinerja peralatan (pesawat sinar-X diagnostik, radioterapi dan kedokteran nuklir) dan keakurasian melalui perhitungan dosis. Meskipun Fisikawan Medis tidak langsung berhubungan dengan pasien tetapi mempunyai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) yang sangat strategis, tanpa kehadiran personil yang berkualifikasi ini dalam “Team Work for Radiology”, maka layanan radiologi tidak sesuai standar WHO dan IAEA.

Ruang Lingkup

Ruang Lingkup tulisan ini mengenai 3 (tiga) hal, sebagai berikut: (1) gambaran Fisikawan Medis di Indonesia; (2) kegiatan Bapeten dalam penguatan peran Fisikawan Medis; dan  (3) tanggapan terhadap makalah yang disajikan oleh tiga pakar Fisikawan Medis.

Tanggapan atau masukan terhadap makalah yang disajikan oleh: (1) Prof Dr Wahyu Setiabudi, FMIPA UNDIP, topik: Teknologi PET CT; (2) Dr rer. nar Freddy, FMIPA ITB, topik: Dosimetri Monte Carlo; dan (3) Dr Gede Bayu, FMIPA UGM, topik: Pengembangan CR dan DR di Indonesia. Tanggapan kami sudah disampaikan secara lisan pada saat acara workshop. Namun alangkah baiknya dibuat secara tertulis sehingga menjadi suatu dokumen yang mungkin dapat memberikan manfaat. Materi pembahasan hanya dari aspek proteksi dan keselamatan radiasi secara sederhana.   

Latar Belakang Institusi Pendidikan Fisika Medik di Indonesia

Berdasarkan standar internasional, layanan radiologi yang lengkap harus menyediakan Fisikawan Medis sebagai mitra kerja para praktisi medik atau profesi lain, seperti dokter spesialis radiologi, dokter spesialis onkologi radiasi, dokter spesialis kedokteran nuklir dan/atau radiografer, dan dokter spesialis radiologi kedokteran gigi. Pada tahun delapanpuluhan WHO sudah mulai mencanangkan penerapan program jaminan mutu-PJM (quality assurance program-QAP) radiologi. Para pakar radiologi dari WHO maupun pakar fisika medik dari IAEA telah berkunjung ke sejumlah negara, termasuk ke Indonesia. Misi kunjungan adalah mendorong Pimpinan Kemenkes agar segera menyediakan Tenaga Fisika Medik atau Fisikawan Medis sehingga layanan radiologi di Indonesia menjadi harmonis dengan standar internasional. WHO maupun IAEA juga mengkomunikasikan masalah tersebut dengan pihak Batan karena Batan juga mempunyai keterkaitan tupoksi dalam rangka kalibrasi peralatan radioterapi. Disamping itu Batan juga mempunyai SDM yang berkualifikasi fisika medik dan peralatan QA dan QC untuk radiologi diagnostik.

Alasan utama yang dikemukakan oleh para pakar WHO dan IAEA adalah pentingnya seorang Fisikawan Medis dalam layanan radiologi. Fisikawan Medis bertanggung jawab atas penerapan program proteksi dan keselamatan radiasi dalam layanan radiologi (diagnostik dan intervensional, radioterapi dan kedokteran nuklir), diantaranya melakukan PJM termasuk pengukuran atau perhitungan dosis radiasi dan perencanaan pengobatan radiasi untuk terapi. Bahkan dalam konteks keselamatan radiasi Fisikawan Medis yang Berkualifikasi ini adalah seorang Qualified Expert sebab Fisikawan Medis ini juga adalah Petugas Proteksi Radiasi (Radiation Protection Officer) atau Petugas Keselamatan Radiasi (Radiation Safety Officer).  Dengan demikian, penggunaan radiasi dalam layanan radiologi dapat memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada pasien sesuai prinsip optimisasi proteksi dan keselamatan yang dioperasional dalam capaian keselamatan pasien (patient safety) dan tidak menimbulkan efek radiasi terhadap pekerja maupun anggota masyarakat.

Pada tahun 1984, Pimpinan Depkes mengambil suatu kebijakan yang sangat tepat dan baik dengan menyiapkan Fisikawan Medis di rumah sakit milik instansi pemerintah yang memiliki layanan radiologi yang lengkap, misalnya RSUPN dr Cipto Mangunkusumo, Jakarta dan RS Kanker Dharmais, Jakarta. Penyiapan Fisikawan Medis ini dilakukan dengan cara crash program melalui rekruitmen lulusan APRO yang bekerja sebagai radiografer di rumah sakit milik pemerintah untuk mengikuti pendidikan Fisika Medik. Disamping itu, lulusan APRO yang bekerja di jajaran birokrasi, khususnya Kemenkes juga diberi kesempatan untuk ikut serta.

Di Indonesia pada kurun waktu tahun delapan puluhan belum ada institusi pendidikan fisika medik. Kalau di negara maju institusi pendidikan fisika medik sudah sejak lama berdiri. Bahkan ada juga Fisikawan Kesehatan (Health Physicist) yang hampir sama ilmu pengetahuan dasarnya meskipun berbeda bidang lapangan kerjanya. Para lulusan institusi perguruan tinggi jurusan fisika medik ini adalah Fisikawan Medis yang kontribusinya sangat banyak dalam kemajuan peralatan medik, termasuk instrumentasi dan komputerisasinya.   

Perkembangan Pendidikan Fisika Medik

Pada awalnya pendidikan fisika medik diselenggarakan oleh UNDIP melalui jalur kerjasama dengan Depkes, yaitu program D-IV pada tahun 1984. Lulusan D-IV ini menyatakan dirinya sebagai Diploma Fisika Medik (DFM) atau Ahli Fisika Medik (AFM). Angkatan kedua adalah pada tahun 1996 untuk program S-1 Fisika Medik dan pada tahun yang sama juga Depkes bekerjasama dengan UGM, yaitu program S-1 Fisika Medik. Total lulusan UNDIP untuk 2 (dua) angkatan adalah 26 (duapuluh enam) orang.

Seiring berkembangnya peminatan program studi fisika medik ini, UI juga menyelenggarakan program studi fisika medik, dimulai tahun 1999, lulusannya adalah S-1. Akhir-akhir ini ada lagi sejumlah institusi perguruan tinggi lain, seperti UNPAD, UNIBRAW, UNAIR, USU dan UNHAS yang juga menyelenggarakan pendidikan fisika medik dengan kurikulum yang berbeda antara satu perguruan tinggi dengan yang lain.

Pada tahun 2006 ketika Bapeten mulai merencanakan kegiatan pengembangan fisika medik, tidak hanya pihak UI yang dilibatkan tetapi juga UNPAD. Narasumber yang hadir adalah Dr Bernadr Y. Tumbelaka, M.Eng.Sc, dosen jurusan fisika FMIPA UNPAD tetapi belakangan ini tidak ada lagi informasi mengenai keterlibatan pihak UNPAD. Berdasarkan data yang dapat dihimpun, pada saat ini ada 3 (tiga) perguruan tinggi, yaitu FMIPA UI, FMIPA UNDIP dan UGM yang lebih siap untuk menyelenggarakan pendidikan fisika medik.    

Fisika Medik FMIPA UI

Meskipun duka mendalam menimpa keluarga besar Fisika Medik FMIPA UI atas meninggalnya 2 (dua) orang ilmuwan muda (fisikawan medis alm. Pak Nasuha dan alm. Pak Rahmat) yang banyak membantu bidang akademis. Namun semangat maju terus tetap berkobar di dalam sanubari para tokoh pendidikan yang berlokasi di kampus Depok tersebut. Generasi penerus lahir dan tumbuh hingga mulai terasa kehadirannya. Pada saat ini, paling tidak ada 3 (tiga) orang Fisikawan Medis yang sudah “berkelas sebagai ilmuwan muda”, yaitu: (1) Heru Prasetio M.Si; (2) Supriyanto A Prawiro M.Si; dan (3) Dwi Seno Kuncoro S., M.Si. Secara khusus mengenai Pak Heru sangat banyak kontribusinya dalam kegiatan litbang di Batan dan rumah sakit serta menjadi narasumber untuk pengkajian dan penyusunan peraturan di Bapeten.

FMIPA UI sejak beberapa tahun yang lalu sudah mengembangkan program studi fisika medik hingga jenjang paskasarjana (S-2). Peserta program ini adalah lulusan dari S-1 fisika medik UI dan berbagai lulusan perguruan tinggi lain, seperti D-IV dan S-1 UNDIP, S-1 UGM dan sebagainya. Dalam waktu dekat ini, UI akan mengembangkan lagi hingga program S-3 fisika medik. Dr rer. nar Freddy juga ikut diajak membantu pengembangan pendidikan tersebut. Oleh karena itu, UI sedang bekerja keras untuk memenuhi semua ketentuan yang dipersyaratkan agar rencana tersebut dapat tercapai. Salah satunya adalah semakin memperkuat jajaran dosen, dalam waktu dekat ini staf pengajarnya, Supriyanto A. Prawiro M.Si akan menyelesaikan pendidikan S-3 fisika medik di Vienna University, Wina Austria.

Fisika Medik FMIPA UNDIP

UNDIP sedang berbenah diri dalam rangka pengembangan pendidikan fisika medik tidak hanya S-1 tetapi hingga S-2. Bahkan menurut gurubesar FMIPA UNDIP Prof Dr Wahyu Setiabudi, UNDIP juga berencana membangun rumah sakit yang dilengkapi radiologi dan suatu pusat kajian fisika medik dengan peralatan QA dan QC yang modern. Pembangunan fisik sudah dimulai sejak 2 (dua) tahun yang lalu.  

Fisika Medik FMIPA & FT UGM

            UGM juga melakukan upaya yang sama seperti UI dan UNDIP. Kelihatannya UGM agak unik karena ada 2 (dua) fakultas yang “dapat menyelenggarakan pendidikan fisika medik”, yaitu FT dan FMIPA. Lulusan FT adalah sarjana teknik (ST) dan lulusan FMIPA adalag sarjana sains (SSi), keduanya diakui sebagai fisikawan medis. 

Ada 2 (dua) orang tenaga pengajar bergelar S-3 yang sudah banyak berkontribusi untuk kemajuan pendidikan fisika medik, yaitu: (1) Dr Ing. Sihana adalah dosen FT; dan (2) Dr Gede Bayu adalah dosen FMIPA. Bapeten sudah sejak dari awal kegiatan Program Proteksi sudah mengundang pak Sihana sebagai narasumber yang sekaligus mewakili UGM.

Satu hal yang sangat menggembirakan lagi, akhir-akhir ini pihak UGM melalui Pak Gede sudah berhasil melakukan riset dalam rangka pengembangan perangkat pencitraan berbasis Computerized Radiography dan Digital Radiography. Hasilnya sudah memperoleh hakpaten. Bahkan Beliau juga sudah mengajak mahasiswanya untuk terlibat secara aktif dalam pengembangan hasil riset tersebut hingga menjadi suatu karya yang dapat dirasakan manfaatnya oleh pihak rumah sakit sebagai pengguna akhir (end user). Suatu karya yang sangat baik dan patut dihargai oleh kita semua.

Masalah Kurikulum

Fisikawan Medis yang ada saat ini masih beragam latar belakang pendidikannya, sebagai contoh, untuk strata S-1 lulusan FMIPA UI, UGM dan UNDIP diberi gelar akademis sarjana sains (SSi), sedangkan lulusan FT UGM diberi gelar akademis sarjana teknik (ST). Demikian halnya lulusan dari perguruan tinggi lain. Mereka semuanya diakui sebagai Fisikawan Medis. Oleh karena itu, salah satu masalah yang dianggap sangat urgen adalah kurikulum pendidikan fisika medik, belum ada standar baku kurikulum fisika medik. Permasalahan kurikulum inilah yang pernah dibahas secara nasional melalui bantuan kegiatan yang diselenggarakan oleh Bapeten.

Dua Tokoh Sentral Fisika Medik

(from Zero to Hero)

Berbicara mengenai Fisika Medik di Indonesia, ada 2 (dua) tokoh sentral yang sangat berjasa dalam membangun Fisikawan Medis hingga menjadi tenaga kesehatan, sejajar dengan profesi lain. Dua tokoh pejuang ini sama baik dan hebatnya, yaitu Prof. Dr. Djarwani Soeharso Soejoko (panggilan akrab adalah Bu Jar atau Prof Jar) dan Sudharto Wahab, DFM, SH, MKes (panggilan akrab adalah Pak Darto).

Dua tokoh ini berjuang dan berjuang terus tidak hanya melalui jalur organisasi profesi yang didirikannya tetapi juga melalui bidang profesi atau pekerjaan masing-masing. Bu Jar adalah pendiri HFMBI dan bekerja sebagai guru besar di Jurusan Fisika FMIPA UI, jabatan adalah Ketua Departemen Program Studi Fisika Medik. Pak Darto adalah pendiri IKAFMI dan bekerja sebagai PNS di Kemenkes, jabatan yang pernah diemban adalah eselon-3 di Direktorat Jenderal Pelayanan Medik dan sudah pensiun sebagai PNS.

Dalam rangka penguatan masing-masing organisasi yang dipimpinnya, terkadang dua tokoh ini berbeda pendapat, ego sektoral terkesan mulai muncul. Bahkan menjadi lebih tajam lagi ketika ada anggota dari IKAFMI yang ikut nimbrung. Hal yang sangat, sangat wajar, itulah alam kebesasan mimbar ilmiah terutama di kalangan akademisi.

Sosok, Perjuangan dan Karya Bu Jar

Sepuluh tahun yang lalu, tepatnya pada tanggal 19 Maret 2001, Bu Jar sudah menyuarakan aspirasinya kepada Anggota Dewan yang terhormat (Komisi VII DPR dan Komisi VIII DPR) dan Pemerintah (Depkes, Kemenristek, Bapeten dan Batan) ketika ada acara Dialog Pengkayaan Ilmiah Ke-3 antara DPR RI dengan Kemenristek. Tema Dialog adalah “Manfaat dan Risiko Kecelakaan Radiasi dalam Bidang Radioterapi”. Bu Jar hadir sebagai salah satu undangan terhormat yang mewakili akademisi dan Fisikawan Medis (HFMBI). Kegiatan tersebut merupakan kerja sama antara Kemenristek dengan Bapeten yang didukung oleh Batan dan LIPI. Penanggung jawab adalah Fajar Suprapto, MSc dari Kemenristek dan Koordinator adalah Drs Togap Marpaung, Sp-1 dari Bapeten.  

Bu Jar adalah orang yang berpikir jauh ke depan (visioner), sebagai seorang ilmuwan yang menjunjung tinggi idealisme dan mutu, sangat mendambakan agar setiap insan Fisikawan Medis harus sesuai standar internasional. Bagi sebagian insan Fisikawan Medis, Bu Jar adalah pribadi yang “nampaknya kurang disenangi namun sangat dirindukan” karena ungkapan-ungkapan Bu Jar yang terkadang “pahit tetapi akhirnya membuahkan hasil yang manis dan segar”.   

Sebagai contoh, alam pikiran Bu Jar adalah “lulusan pendidikan D-IV yang menyatakan dirinya sebagai Ahli Fisika Medik belum cukup dianggap sebagai Fisikawan Medis”. Dalam benak Bu Jar, “lulusan D-IV adalah pendidikan lanjutan para lulusan akademi (APRO atau ATRO) yang notabene adalah tenaga penata rontgen atau radiografer medik yang kurang cerdas untuk mengerjakan peran Fisikawan Medis”.

Oleh Bu Jar ditegaskan lagi, “Fisikawan Medis harus mempunyai ilmu pengetahuan dasar yang kuat mengenai fisika dan mengikuti residensi klinis”. Ditambahkan lagi bahwa “peralatan radiologi hanya dapat dipahami dengan menguasai ilmu fisika, semua parameter peralatan radiologi adalah besaran fisika yang dapat diubah menjadi besaran radiasi, termasuk komputerisasi dan instrumentasinya adalah bagian dari ilmu fisika”.

Oleh karena itu Bu Jar simpulkan,” infrastruktur pendidikan fisika medik, diantaranya kurikulum, fasilitas (peralatan), tenaga pengajar dan rumah sakit tempat residensi harus dibenahi terlebih dahulu. Idealnya, menjadi Fisikawan Medis yang lulusan S-1 harus memiliki pengetahuan klinis dasar sedangkan yang lulusan S-2 harus memiliki pengetahuan klinis lanjutan melalui pendidikan magang (residensi klinis) di rumah sakit paling kurang 6 (enam bulan)”. 

It was !   Now, every Medical Phyisicist loves Bu Jar so much!!!

Pendapat Bu Jar adalah benar seratus persen! Oleh karena itulah, Bapeten juga mengusulkan agar seseorang yang dapat menjadi atau yang memperoleh mandat Qualified Expert adalah Fisikawan Medis yang Berkualifikasi, idealnya pendidikan formal adalah paling kurang S-2 lebih baik lagi S-3. Konsep inilah yang diusulkan bahkan sudah dimasukkan dalam regulasi keselamatan radiasi dalam pemanfaatan tenaga nuklir dalam bidang medik yang menjadi kewenangan Bapeten. Bukan hal yang mudah mensosialisasi sosok Qualified Expert ini karena ada beberapa pakar dari profesi lain yang menggugat usulan tersebut dan Amhamdulilah..., Bapeten dapat meyakinkan hal tersebut. Dari perspektif Badan Pengawas, satu hal pokok yang harus dicamkan agar peran Fisikawan Medis semakin dirasakan maka yang menjadi Petugas Proteksi Radiasi adalah Fisikawan Medis sehingga tugas dan tanggungjawabnya benar-benar penuh mencakup aspek proteksi dan keselamatan radiasi.

Latar belakang pendidikan Bu Jar, bukanlah dari jalur fisika medik sehingga Bu Jar pernah juga dipertanyakan oleh salah satu anggota IKAFMI mengenai status Bu Jar sebagai seorang Fisikawan Medis. Tetapi dapat dipastikan bahwa lebih separuh kehidupan Bu Jar sudah diabdikan untuk kemajuan fisika medik. Di luar tugas kedinasan sebagai dosen jurusan Fisika FMIPA UI, Bu Jar sudah sejak tahun delapanpuluhan “diapresiasi” oleh RSUP Pertamina Jakarta sebagai konsultan yang bertindak sebagai “Fisikawan Medis yang Berkualifikasi” di bagian radiologi. Bu Jar juga sudah sejak tahun tujuhpuluhan mengajar di APRO Depkes Jakarta dan juga pernah sebagai “tenaga profesional” di Bagian Radioterapi RSU Persahabatan Jakarta Timur.

Bu Jar tidak hanya berjuang di kancah nasional tetapi juga internasional, jejaringnya sangat luas karena mempunyai hubungan yang baik dengan instansi pemerintah, misalnya Kemenkes, secara khusus dengan Bapeten dan Batan. Demikian juga akses Bu Jar ke IAEA dan asosiasi profesi Fisikawan Medis di tingkat internasional sangat baik sehingga Bu Jar dikenal dalam pergaulan para ilmuwan bidang fisika, khususnya kalangan Fisikawan Medis. Bu Jar, salah satu yang membidani lahirnya organisasi Fisikawan Medis di tingkat regional ASEAN. .......Karya Bu Jar sudah terbukti...!

Sosok dan Perjuangan Pak Darto

Pak Darto mempunyai latar belakang pendidikan yang cukup beragam, diawali dengan APRO (BSc) – DFM – SH dan terakhir Magister Kesehatan. Pak Darto sangat berakar dan dikenal di lapisan akar rumput yang berada di layanan radiologi rumah sakit, “pasukannya” sangat banyak. Pribadi Pak Darto yang menjadi modal utama adalah kesabaran dan kegigihannya untuk terus-menerus berupaya meyakinkan Bu Jar bahwa fakta perjalanan hidup sebagai catatan sejarah organisasi asosiasi profesi Fisikawan Medis di Indonesia diawali oleh lulusan D-IV, yaitu IKAFMI.

Satu hal yang tidak dapat dipungkiri adalah status Pak Darto yang bekerja sebagai PNS mempunyai hubungan yang baik dengan instansi pemerintah tempat di mana Beliau mengabdi, yaitu Kemenkes dan juga memilik akses yang baik ke instansi luar, seperti Kemenpan. Jejaring yang baik dengan para pengambil kebijakan ini benar-benar dimanfaatkan secara positip dan maksimal oleh Pak Darto untuk memperjuangkan agar Fisikawan Medis menjadi Tenaga Kesehatan.   

Pak Darto sangat beruntung karena didukung secara penuh oleh Kasi Proteksi Radiasi, Drs M. Saleh Mursyid, MSi (panggilan akrab adalah Pak Mursyid) yang juga pejabat Depkes. Meskipun Pak Mursyid tidak dalam posis jabatan struktural yang tinggi tetapi Beliau ini mempunyai kakak Menteri Sekretaris Kabinet, Drs Sadilah Mursyid eranya Jenderal Soeharto Presiden RI. Dengan adanya jejaring yang sangat kuat tersebut maka permasalahan birokrasi tidak akan rumit dihadapi. Sebagai contoh, dieranya Pak Mursyid inilah pendidikan DFM diselenggarakan sebanyak 2 (dua) angkatan alumni D-IV UNDIP, sebanyak 26 (duapuluh enam) orang dan 1 (satu) angkatan alumni Sarjana Teknik (ST) UGM.    

Apresiasi Dua Tokoh Fisika Medik

Tidak dapat dimungkiri lagi peran Bu Jar dan Pak Darto karena Beliau berdua telah berhasil memperjuangkan sebagian cita-cita kita maka Bu Jar dan Pak Darto adalah Tokoh Sentral Fisika Medik Indonesia. Tanpa mengecilkan peran orang-orang lain dan mengingat dedikasi yang luar biasa dari dua tokoh ini maka sangat layak juga dipersembahkan suatu penganugerahan gelar pejuang “from Zero to Hero”. Selamat Ibu dan Bapak!!!

Sekilas Gambaran Fisika Medik di Malaysia

Mengenai latar belakang pendidikan seseorangg harus fisika medik agar dapat menjadi  tokoh dalam membangun organisasi profesi ternyata tidak berlaku secara absolut. Sebagai contoh, President (President) dari Persatuan Fizik Perubatan Malaysia (Malaysian Assosiation of Medical Physics-MAMP) adalah DR.MD SAION SALIKIN, Beliau adalah seorang Dokter Medis (Medical Docter-MD) bukan seorang Fisikawan Medis (Medical Physicists-MP). Padahal Malaysia memiliki seorang Fisikawan Medis yang kesohor, kelas dunia, Qualified Expert, yaitu Prof Dr Kwan Hoong Ngo tetapi bukan Beliau yang menjadi Presiden MAMP. Namun dalam kegiatan fisika medik yang berskala dunia, misalnya kegiatan yang diselenggarakan oleh IAEA maka Prof Dr Kwan inilah yang diundang sebagai expert, He is an IAEA expert! Belaiu pernah curhat sedikit kepada kami mengenai “gambaran fisika medik di Malaysia”.

 What happened in Indonesia and Malaysia as well, etc, it’s a normal condition, especially in developing country, in process toward a state of being established!

Organisasi Profesi Fisikawan Medis

Hingga saat ini, populasi Fisikawan Medis kurang dari 2 (dua) ratus orang tetapi ada 2 (dua) organisasi profesi yang mewadahinya, yaitu: (1) IKAFMI yang dibentuk pada tahun 1988; dan (2) HFMBI yang dibentuk pada tahun 1990. Apabila disimak lebih jauh, dua organisasi ini mempunyai latar belakang yang berbeda.

IKAFMI telah mengalami perubahan secara organisasi sehingga IKAFMI dapat dipersepsikan menjadi IKAFMI era lama (1988 – 2007) dan IKAFMI era baru (2007 – sekarang). Sedangkan HFMBI tidak mengalami perubahan secara mendasar terkait organisasinya.

IKAFMI Era Lama (1988 – 2007)

IKAFMI adalah Ikatan Ahli Fisika Medik Indonesia, yang dideklarasikan oleh para alumni D-IV UNDIP, pada Kongres ke-I, 20 Februari 1988 di Jakarta. Ketika itu, IKAFMI sudah menyatakan secara terbuka kepada publik sebagai “organisasi profesi” yang merupakan wadah “Ahli Fisika Medik”, meskipun aspek legalitasnya belum ada. Karena IKAFMI belum tercatat di akte notaris sebagai organisasi profesi yang berbadan hukum. Ketika baru dibentuk, keanggotaan IKAFMI berasal dari lulusan D-IV UNDIP dan jumlah anggotanya masih relatif sedikit. Namun seiring dengan dengan meningkatnya kebutuhan Fisikawan Medis di bagian radiologi maka lulusan jurusan fisika medik ini semakin banyak yang pada akhirnya jumlah anggota IKAFMI semakin banyak pula.

IKAFMI Era Baru (2007 – Sekarang)

IKAFMI adalah Ikatan Fisikawan Medis Indonesia (Indonesian Medical Phyisicist Association-IMPA), yang dideklarasikan pada Kongres ke-II, 16 Juli 2007 di Yogyakarta.  Dalam Anggaran Dasar (AD) dinyatakan bahwa “organisasi profesi IKAFMI dengan HFMBI yang dengan kesadaran dan keikhlasan merasa perlu bersatu untuk mengembangkan fisika medik di Indonesia”.

Ada perubahan yang mendasar antara IKAFMI era lama dengan IKAFMI era baru, yaitu subjeknya tidak lagi disebut “Ahli Fisika” tetapi “Fisikawan”. Alasan mengapa terminologi “Ahli Fisika” diganti dengan Fisikawan” karena secara filosofis makna dua terminologi tersebut sangat berbeda. Dalam hal ini, Ahli Fisika mempunyai arti sama dengan lulusan Diploma, sedangkan Fisikawan mempunyai arti sama dengan sarjana bahkan secara keilmuan dapat dianggap sebagai seorang pakar (expert).  Dengan adanya perubahan ini maka pengertian Tenaga Fisika Medik sebagaimana yang dirisaukan oleh Bu Jar dan kawan-kawan yang lain menjadi harmonis dengan penyebutan dan pengertian secara internasional.

Dari tahun ke tahun, jumlah keanggotaan IKAFMI juga semakin banyak, yang tentunya merupakan aset yang baik untuk berjuang bersama-sama dalam meraih impiannya. Anggota IKAFMI tidak hanya terbatas lulusan D-IV UNDIP lagi tetapi juga lulusan S-1, S-2 dan S-3 perguruan tinggi lain, misalnya UI, UGM, UNAIR, ITS, USU dan UNHAS bahkan ada lulusan S-3 luar negeri bergelar PhD dalam bidang fisika medik.

Sebagai organisasi profesi IKAFMI telah dicatat  dalam akta notaris Dewi Tenty Septi Artiany, SH, MKn, Notaris di Jakarta, di bawah nomor 03 tahun 2009. Ketua Umum IKAFMI periode tahun 1988 - 2011 adalah Sudharto Wahab, DFM, SH, M.Kes. Sedangkan Ketua Umum IKAFMI periode 2011 – 2014 adalah Ratih Oemiyati, DFM, M.Pd.

Ada peristiwa bersejarah yang melatarbelakangi perubahan IKAFMI era lama menjadi IKAFMI era baru. Bapeten ikut serta memainkan peran strategisnya melalui suatu kegiatan khusus, yaitu Program Proteksi dan Keselamatan Radiasi dalam Bidang Medik.

HFMBI (1990 – sekarang)

HFMBI adalah Himpunan Fisikawan Medis dan Biofisikawan Indonesia, yang alamat sekretariatnya adalah Departemen Fisika FMIPA, UI Depok. Organisasi ini didirikan oleh para profesional Fisikawan Medis yang bekerja di Universitas, Rumah Sakit, dan Lembaga Riset di Indonesia pada 9 Juni 1990. Organisasi ini himpunan profesi yang merupakan anggota International Organization for Medical Physics (IOMP); Asian Oceania Federal Organization  for Medical Physics (AOFOMP); dan South East asia Federation Organization for Medical Physics (SEAFOMP).

HFMBI agak berbeda dengan IKAFMI bahkan dengan organisasi internasional tersebut di atas karena HFMBI tidak hanya menghimpun komunitas Fisikawan Medis tetapi juga Biofisikawan. Hal itu dapat disimak dari komposisi kepengurusan organisasi periode saat ini (2008 – 2011), Ketua adalah Dr rer nat Freddy Haryanto, dosen fisika ITB yang pakar fisika medik dan wakilnya adalah Dr Kiagus Dahlan, MSc, dosen IPB yang pakar biomedik. Hingga saat ini sudah 3 (tiga) kali pergantian pengurus organisasi ini, adapun tokoh-tokoh yang pernah menduduki jabatan Ketua sebagai berikut:

1. Prof Dr Djarwani Soeharso Soejoko (1990 – 2002);
2. Drs Nasuha, M.App.Sc (2002 – 2005); dan
3. Dr Rahmat Widodo (2005 – 2008).

HFMBI sebagai organisasi profesi belum dicatat dalam akte notaris sehingga organisasi ini belum menjadi badan hukum yang wajib bayar pajak.

            Dalam perkembangannya, organisasi ini telah berkontribusi aktif dalam pengembangan Fisikawan Medis di dalam negeri maupun di luar negeri. Anggotanya juga berpartisipasi aktif dalam pendidikan dan pelatihan dalam rangka pengembangan Fisikawan Medis dan Biofisikawan yang handal.  

IKAFMI era baru adalah fusi IKAFMI era lama dengan HFMBI tetapi status HFMBI tetap eksis. Dengan demikian dua organisasi ini tetap berjalan sesuai kodratnya masing-masing, anggota HFMBI ada yang menjadi anggota IKAFMI, salah satu contoh adalah Ketua HFMBI, Dr rer nar Freddy Haryanto adalah juga anggota IKAFMI. Bu Jar juga selalu menjadi salah satu narasumber atau penyaji dalam setiap kegiatan IKAFMI. 

Kegiatan Bapeten dalam Penguatan Peran Fisikawan Medis

Bapeten melalui Direktorat Pengaturan Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif (DP2FRZR) dipercaya melakukan kegiatan khusus (ad hoc) yang multiyears, yaitu: Program Proteksi dan Keselamatan Radiasi dalam Bidang Medik. Program Proteksi ini mulai diajukan dan disetujui tahun 2005. Kegiatannya mulai berlangsung tahun anggaran 2006 yang mendapat dukungan secara penuh dari Kepala Bapeten mulai dari Prof Dr Azhar Djaloeis, Drs Sukarman Amindjojo, APU dan Dr Ir As Natio Lasman.

Ketua Program Proteksi dan menjadi tokoh sentral di Bapeten adalah Drs. Martua Sinaga, MM (panggilan akrab adalah Pak Sinaga) dan dimotori (istilah Bu Jar) suatu Tim yang solid oleh Drs Togap Marpaung, PGD (panggilan akrab adalah Pak Togap), yang juga sebagai Koordinator Pelaksana dan Sekretaris adalah Ardhien Nissa, SH, LLM.

Kegiatan ini mulai dilaksanakan dari tahun 2006 hingga awal tahun 2009. Tim Solid Bapeten didukung oleh anggota-anggotanya terdiri dari: Ishak, MSc, Muklishin, ST, Kristyo Rumboko, ST, Daniel Himawan, S.ST, Sudrajat, ST, dan Merinda Fitrivolia, SSi.

Ada sejumlah kegiatan Bapeten yang telah dilaksanakan terkait dengan penguatan peran Fisikawan Medis, sebagai berikut:

Tahun 2006

1. Pembentukan Tim Pokja untuk Radiodiagnostik dan Pembahasan Rancangan Peraturan Kepala (Raperka) Bapeten Terkait Radiodiagnostik, 9 Mei 2006 Hotel Peninsula, Jakarta
2. Pembentukan Tim Pokja untuk Radioterapi dan Pembahasan Raperka Bapeten Terkait Radioterapi, 12 Mei 2006 Hotel Peninsula, Jakarta
3. Pembahasan lanjutan Raperka Bapeten Terkait Radiodiagnostik, 30 Mei 2006 Hotel Peninsula, Jakarta
4. Pembahasan lanjutan Raperka Bapeten Terkait Radioterapi, 31 Mei 2006 Hotel Peninsula, Jakarta.

Tahun 2007

1. Pertemuan Perumusan Kebijakan Berkaitan dengan Peranan Fisikawan Medis dalam Pelayanan Radiologi, 5 Maret 2007 Hotel Peninsula, Jakarta.
2. Rapat Konsultasi Teknis Pendidikan Tenaga Fisika Medik Antarlembaga Terkait – Bapeten, Depkes, Batan, Rumah Sakit, Perguruan Tinggi, dan Organisasi Profesi, 6 – 7 September 2007 Hotel Peninsula, Jakarta
3. Workshop for Medical Physicist on Radiation Oncology, 26 – 28 November 2007 Bapelkes, Jakarta. Ketua Panitia adalah Bu Jar

Tahun 2008

1. Rapat Koordinasi Program Proteksi dan Keselamatan Radiasi Bidang Medik - Radiodiagnostik, 4 – 6 Desember 2008 Hotel Peninsula, Jakarta.
2. Workshop Nasional tentang Uji Kesesuaian Pesawat Sinar-X Diagnostik dan Intervensional, 11 – 13 Desember 2008 Hotel Paragon, Jakarta. Ketua Panitia adalah Bu Jar.

Tahun 2009

 The Workshop of QA on Diagnostic and Interventional Radiology, 26 – 30 January 2009 Hotel Peninsula, Jakarta. Ketua Panitia adalah Bu Jar.

Tahun 2000 - 2002

Kepala Bapeten menugaskan Kepala Kelompok (Kapok) Fasilitas dan Peralatan melalui Kepala Pusat Pengkajian Keselamatan Radiasi (PPKRad) untuk melakukan kegiatan dalam rangka membantu masalah kalibrasi fasilitas radioterapi. Kapok Fasilitas dan Peralatan dari Unit PPKRad juga dipercaya untuk melakukan kajian keselamatan radiasi dalam penggunaan radium untuk brakiterapi manual, dan penggunaan afterloading. Disamping itu, Kapok Fasilitas dan Peralatan juga melakukan database radioterapi di Indonesia sehubungan dengan adanya permintaan IAEA.

Tahun 2001 (Kegiatan Khusus)

Kegiatan yang masih relevan hubungannya dalam penguatan Fisikawan Medis adalah kegiatan di awal berdirinya Bapeten, yaitu Dialog Pengkayaan Ilmiah Ke-3 antara DPR RI dengan Kemenristek di Gedung DPR RI, pada 20 Maret 2001. Kegiatan tersebut diselenggarakan secara bersama antara Kemenristek dan Bapeten yang didukung oleh Batan dan LIPI. Topik dialog adalah “Manfaat dan Risiko Kecelakaan Radiasi dalam Bidang Radioterapi”. Penanggung Jawab Kegiatan adalah Fajar Suprapto, MSc (Asisten Deputi Kemenristek) dan Koordinator adalah Togap Marpaung.

Peran Ekstra Bu Jar

Semua kegiatan yang merupakan kerjasama antara Bapeten, Depkes dan UI, diputuskan oleh Pak Sinaga atas nama Pimpinan Bapeten agar Ketuanya adalah Bu Jar. Hal ini diberi masukan oleh Koordinator Kegiatan kepada Ketua/Penanggung Jawab Program Proteksi.

Kedudukan Bu Jar sebagai Ketua dikarenakan 2 (dua) alasan, yaitu:

1. ketentuan pertanggungjawaban secara administratif yang harus menandatangani sertifikat workshop adalah Bu Jar; dan
2. secara kebijakan, Bu Jar sudah ditetapkan sebagai “Qualified Expert” dalam membangun keselamatan radiasi dalam bidang medik.

Motor Kegiatan

Barangkali, fakta-fakta tersebut di ataslah yang menjadi pertimbangan Bu Jar sehingga Beliau menyebut “Pak Togap adalah Motor Kegiatan”.

===  Thank you very much Madam for your appreciation!!!  ===

Penutup

(Himbauan dan Harapan)

Meskipun ada 2 (dua) organisasi profesi HFMBI dan IKAFMI tetapi keduanya mempunyai tujuan mulia yang sama, yaitu membangun insan Fisikawan Medis dengan kompetensi yang standar sehingga diakui sama dengan tenaga profesi lain. Mari kita hargai kedua organisasi tersebut, hal itu adalah aset!

Tidak hanya harapan Bu Jar tetapi harapan kita semua bahwa Fisikawan Medis minimal pendidikan S-2 dengan wajib mengikuti residensi klinis. Untuk meraih cita-cita tersebut, banyak hal yang harus dikerjakan, diantaranya kerjasama dengan pihak-pihak penyelenggara rumah sakit harus dijalin dengan baik dan peralatan QA dan QC yang standar harus tersedia. Mengenai kurikulum fisika medik maka Kemendiknas dan Institusi yang berwenang lain juga harus diajak bicara dan diyakinkan.

Dengan demikian, tidak hanya sekedar lulusan S-2 fisika medik yang tumbuh tetapi lebih dari itu, Fisikawan Medis Berkualifikasi (Qualified Expert) akan lahir di republik ini. Mengapa Malaysia dan Thailand dapat memiliki pakar Fisikawan Medis berkelas internasional? Mengapa Indonesia tidak?   

Kedepan, hanya 1 (satu) organisasi profesi yang akan terbentuk, yang mewadahi Fisikawan Medis Indonesia seiring dengan lahirnya Qualified Expert yang karyanya sudah diakui secara internasional.

Demikian dan terima kasih.

Jakarta, 14 Agustus 2011

Togap Marpaung