Sebelum mengikuti pendidikan Post Graduate Diploma (PGD) in Radiation Protection, pimpinan BAPETEN Dr. Mohammad Ridwan, M.Sc. APU, telah merintis program magister medical physics di Malaysia melalui bantuan IAEA. Pak Ridwan mempunyai jejaring yang sangat baik di IAEA karena pernah menjadi salah satu direktur di IAEA. Rencana pendidikan medical physics di Malaysia sesuai saran orang Malaysia yang bekerja di IAEA kepada Pak Ridwan.
Kabar baik ini segera ditindaklanjuti dengan mengontak Prof. DR. Kwan Hoong Ng, Chief of Department of Medical Physics, Faculty of Medicine University of Malaya, Kuala Lumpur Malaysia. Jawaban sang Profesor segera diperoleh melalui email. Prof ini sudah dikenal sebelumnya ketika ada pelatihan QA on Radiology Diagnostic yang disponsori oleh IAEA tahun 1995 di Jakarta. Namun, beberapa bulan kemudian diperoleh khabar bahwa IAEA tidak memberikan bantuan dana kalau untuk degree apalagi medical physics. Alasannya kuatir pindah kerja dari badan pengawas (regulatory body) ke rumah sakit (end user).
Pada tahun berikutnya, IAEA mulai menyelenggarakan program diploma yang secara khusus didedikasikan bagi pengembangan SDM negara-negara anggota. Pendidikan PGD ini diselenggarakan bekerja sama dengan pihak universitas, badan litbang dan badan pengawas tenaga nuklir di suatu negara yang memenuhi kriteria. Negara penyelenggara untuk wilayah Asia adalah Malaysia dan wilayah afrika adalah Afrika Selatan. Program PGD dianggap paling tepat untuk pengembangan kompetensi SDM karena muatan pelajaran dirancang bagi peserta yang sudah bekerja, lebih banyak diarahkan terapan dibandingkan teori.Pendidikan PGD ini diikuti oleh peserta yang berasal dari instansi pemerintah negara di asia (Malaysia, Indonesia, Thailand, Philippina, Bangladesh, Pakistan, Srilanka, Vietnam, China, Myanmar, dan Mongolia). Pada saat pendidikan akan dimulai semua mahasiswa dan pihak UKM memberikan kepercayaan kepada mahasiswa yang berasal dari Indonesia sebagai penanggung jawab (koordinator) terkait kegiatan perkuliahan, fasilitas penginapan maupun kejadian apapun yang mungkin dialami setiap mahasiswa. Tugas tersebut adalah amanat. Pendidikan selama 1 (satu) tahun (Februari 2002 – 2003), terdiri dari 3 (tiga) semester dengan mata pelajaran, sebagai berikut:
Semua dosen dengan gelar akademis Dr (Ph.D) kecuali Encik Taiman, M.Sc tetapi dia adalah pakar di bidang dosimetri. Expert IAEA yang didatangkan sebagai dosen tamu juga sangat berkelas. Ada 4 (empat) orang yang mengajar medical exposure, terdiri dari 2 (dua) orang Malaysia (Dr. MD Saion Salikin dan Dr Rozanna), sedangkan 2 (dua) orang lagi adalah expert dari Swedia dan Perancis. Dr Rozanna adalah dosen pembingbing ketika dilakukan tugas akhir (special project) program PGD. Beliau ditugaskan di Hospital UKM sebagai Medical Physicist yang bertanggung jawab terhadap proteksi dan keselamatan radiasi.
Bahan ajar yang dibahas untuk medical exposure meliputi: diagnostik, terapi dan kedokteran nuklir meskipun tidak secara mendalam. Salah satu materi penting yang dibahas adalah proteksi radiasi dalam radiologi diagnostik dan intervensional. Pertanyaan para praktisi medik, khususnya teman radiografer di radiologi diagnostik, yaitu: mengetahui dosis pasien tanpa alat ukur radiasi, terjawab sudah. Sebagai contoh, perkiraan besarnya dosis yang diterima pasien untuk pemeriksaan abdomen dengan proyeksi posterior-anterior (PA) atau lateral dengan pesawat sinar-X konvensional dapat dihitung secara matematis menggunakan rumus fisika. Dalam hal ini, besaran fisika (tegangan tabung puncak: kVp, kuat arus tabung: mA, dan s (second): waktu ekspos), luas lapangan penyinaran, jarak fokus ke film dan jenis tabung (1 fase atau 3 fase) diubah menjadi besaran radiasi (dosis: mGy). Demikian halnya menghitung dosis dengan pesawat sinar-X CT-Scan dijelaskan sekilas. Sayangnya hanya 2 unit (sks) untuk semua hal paparan medik. Topik lain adalah potensi kecelakaan radiasi terhadap personil dan pasien di radiologi intervensional.
Satu lagi expert dari kantor IAEA Austria, Vienna, DR Geeta mengajar iradiator, diantaranya membahas penyebab terjadinya kecelakaan radiasi dan kedaruratan. Sedangkan pengajar lokal yang masuk kategori expert IAEA adalah orang Malaysia Dr Azali b. Muhammad mengajar kamera radiografi industri. Khusus untuk pelajaran ini, suasana kelas sangat berkesan ketika dibuat latihan, tidak satu orangpun yang jawabannya benar. Soalnya adalah “siapa yang dapat menentukan posisi sumber secara tepat sepanjang source cable apabila sumber macet atau tidak dapat dikembalikan ke dalam kamera pada saat pekerjaan radiografi ?”.
Dalam rangka menambah wawasan dan pendalaman proteksi radiasi, kegiatan ekstrakurikuler berupa kunjungan lapangan dilakukan di Malaysia maupun Thailand. Ada 3 (tiga) tempat yang dikunjungi di sekitar Kuala Lumpur, yaitu: (1) Fasilitas Iradiasi Industri jenis mesin berkas elektron-MBE (electron beam machine) milik MINT Malaysia; (2) Gauging terapasang tetap di Petronas; dan (3) radiologi diagnostik; kedokteran nuklir dan radioterapi di Hospital University Sains Malaysia. Sedangkan kunjungan ke Thailand, ada 2 (dua) tempat, yaitu (1) Atomic Energy for Peace Thailand; dan (2) Fasilitas Iradiasi (Iradiator kategori IV) untuk sterilisasi di kawasan industri Bangkok. Semua mahasiswa ikut dan 3 (tiga) orang dosen dari UKM.
Ketika ada International Nuclear Conference, 15–19 October 2002, diselenggarakan di Malaysia, Pak Ridwan diundang sebagai pembicara dengan topik ”Regulatory Aspect of Nuclear Application and Radioactive Waste Management in Indonesia”. Ketika itu, pendidikan PGD di UKM masih berlangsung dan pihak UKM memberikan kelonggaran bagi mahasiswa yang ingin mengikuti seminar tersebut.
Pak Ridwan meminta datang ke hotel tempat penginapan beliau untuk mengurus Pertanggungjawaban Perjalanan Dinas ke Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur. Beliau memberikan ongkos taksi dan mengatakan “besok siang datang ke tempat seminar dan jangan lupa bawa Dokumen Bapak”. Betapa senangnya, ketika beliau menceritakan rencana kelanjutan pendidikan di UKM Malaysia, dari pendidikan program PGD ke pasca sarjana (degree master program). Di akhir pertemuan dengan Pak Ridwan, beliau mengatakan “temui Pak Sukiman”.
Selama perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Bandar Baru Bangi tempat dimana mondok para mahasiswa, mulailah dipikirkan bahwa ada kesempatan kedua. Kesempatan pertama gagal karena IAEA tidak mau membiayai untuk degrre, sedangkan kesempatan kedua akan dibiayai oleh Bapeten melalui dana APBN. Awal pencapaian sebagai pakar proteksi radiai mulai terbuka. Rencana kerja yang akan diajukan adalah melakukan studi banding mengenai keselamatan radiasi di bidang medik di Malaysia, Singapura, Thailand dan Philippina selama pendidikan magister.