ABSTRAK
KAJIAN PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF SUMBER TERBUNGKUS BERDASARKAN REKOMENDASI IAEA. Pada umumnya, suatu buatan manusia yang meskipun berbasis teknologi canggih pada suatu siklus tertentu dapat tidak berguna lagi. Dalam hal ini, sesuatu yang tidak bermanfaat lagi akan menjadi “limbah” dan dalam konteks pemanfaatan tenaga nuklir, khususnya sumber terbungkus yang pada suatu siklus tertentu akan menjadi limbah radioaktif sumber terbungkus (LRST). IAEA merekomendasikan kepada setiap negara anggota agar mengharmonisasi peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan limbah radioaktif. LRST berasal dari pemanfaatan tenaga nuklir di bidang medik, industi dan penelitian, yang dalam konteks pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir, lazim disebut fasilitas radiasi dan zat radioaktif (FRZR). Pemanfaatan sumber terbungkus di Indonesia sangat besar. Izin yang sudah diterbitkan oleh BAPETEN untuk pemanfaatan sumber radioaktif terbungkus per tanggal 10 Juni 2009, ada 76 izin untuk bidang radioterapi (medik), 3.750 izin untuk di bidang industri, dan 36 izin di bidang penelitian. Untuk mengendalikan bahaya radiologik dan non-radiologik yang terkandung dalam limbah radioaktif, ada 9 (sembilan) prinsip dasar pengelolaan limbah radioaktif yang harus dipertimbangkan secara terintegrasi. Dalam rangka amandemen Peraturan Pemerintah No.27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan limbah radioaktif, konsep klasifikasi limbah radioaktif yang baru dan tahapan pengelolaan limbah radioaktif telah dipeljari, kedua poin utama tersebut masih sesuai dengan amanat Undang-undang No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran dan rekomendasi IAEA.
Kata Kunci: Sumber Terbungkus, Klasifikasi Limbah Radioaktif, Pengelolaan Limbah Radioaktif, Limbah Radioaktif Sumber Terbungkus.
ABSTRACT
STUDY ON “RADIOACTIVE SEALED SOURCE – WASTE” MANAGEMENT BASED ON IAEA RECOMMENDATIONS. In general, a man-made though based on advanced technology, in a particular cycle will be not useful anymore. In this case, anything that will be unjustify, finally it will be a "waste" and in context of utilization of nuclear energy, especially sealed source, which in a particular cycle will be “radioactive sealed source – waste”. IAEA recommends that each member state should harmonize their regulations related to radioactive waste management. “Radioactive sealed source – waste generates from the use of nuclear in the field of medical, industrial and research, which in the context of regulating the utilization of nuclear energy, commonly called radiation facilities and radioactive substances. Utilization of sealed source in Indonesia is very large. Licenses that already have been published by BAPETEN to utilization of sealed source as of June 10, 2010, there are 76 licenses for radiotherapy (medical), 3,750 licenses for the industry, and 36 licenses for research facilities. In order to control radiological and non-radiological hazards which are contained in radioactive waste, there are 9 (nine) the basic principles of management of radioactive waste that must be considered in an integrated manner. In order to amendment the Government Regulation No.27 Year 2002 on Management of Radioactive Waste, concept for a new classification of radioactive waste and radioactive waste management steps already studied, those the main point are still in line with the mandate of the Act No.10 Year 1997 on Nuclear Energy and the IAEA recommendations.
Key Words: Sealed Source, Classification of Radioactive Waste, Radioactive Waste Management, Sealed Source-Radioactive Waste.
PENDAHULUAN
Pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir di Indonesia dapat dikelompokkan dalam 2 (dua) bidang utama terdiri dari: Instalasi dan Bahan Nuklir (IBN), dan Fasilitas Radiasi dan Zat Radioaktif (FRZR). Pada umumnya, suatu buatan manusia yang meskipun berbasis teknologi canggih pada suatu siklus tertentu dapat tidak berguna lagi, dalam konteks pemanfaataan tenaga nuklir ini yang pada awalnya “bermanfaat” maka suatu ketika menjadi “tidak bermanfaat” lagi, secara umum diartikan sesuatu yang tidak bermanfaat lagi akan menjadi “limbah”. Pemanfaatan tenaga nuklir, khususnya sumber terbungkus yang pada suatu siklus tertentu akan menjadi LRST. Sebelum menjadi rezim “limbah” maka sumber radioaktif dikategorikan menjadi “baklim” (bakal limbah) berupa spent sealed source atau disused sealed source.
Perkembangan penggunaan sumber radioaktif terbungkus yang semakin luas dan bervariasi menyebabkan LRST yang dihasilkan oleh pihak pengguna di bidang medik, industri dan penelitian juga semakin meningkat, baik secara kuantitas maupun kompleksitasnya. Sumber radioaktif terbungkus mempunyai range aktivitas yang luas bergantung pada jenis penggunaannya, misalnya untuk sumber kalibrasi, mulai dari beberapa microcurie (mCi) atau megabecquerel (MBq), dan untuk sumber teleterapi sekitar ribuan curie (kCi) atau sekitar ratusan terabecquerel (TBq).
Sehubungan dengan masalah pengelolaan limbah radioaktif yang semakin pelik tersebut maka IAEA merekomendasikan kepada setiap negara anggota agar mengharmonisasi peraturan perundangan yang terkait dengan pengelolaan limbah radioaktif. Oleh karena itu, Indonesia sebagai salah satu negara anggota IAEA, merencanakan akan mengharmonisasi Peraturan Pemerintah (PP) No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif. Kegiatan pada tahun 2009 diawali dengan penyusunan konsepsi dan tahun 2010 ini dilanjutkan dengan penyusunan draf rancangan dalam bentuk pasal.
Lingkup pembahasan makalah ini adalah pengelolaan LRST berbasis pada prinsip dasar pengelolaan limbah radioaktif sesuai rekomendasi IAEA Safety Standards, Classification of Radioactive Waste, No. GSG-1, tahun 2009 tetapi tetap secara substansi konsisten dengan UU No. 10 Tahun 1997 mengenai pengertian pengelolaan limbah radioaktif, metode klasifikasi hingga kriteria pembuangan (disposal) serta menguraikan prinsip ke-7 pengelolaan LRST.
PENGHASIL LRST
Pemanfaatan tenaga nuklir dalam FRZR tidak hanya menggunakan sumber radioaktif tetapi juga dengan pembangkit radiasi pengion (pesawat sinar-X dan pemercepat elektron-Linac). Sumber radioaktif terdiri dari sumber terbungkus dan sumber terbuka.
LRST dari Penggunaan Medik
LRST dari penggunaan medik berasal dari fasilitas radioterapi yang menggunakan peralatan Brakiterapi dan Teleterapi untuk pengobatan kanker (treatment for cancer).
Brakiterapi Manual
Terapi untuk kanker cervix yang dilakukan secara manual adalah brakiterapi pertama kali sekitar tahun 1900 (seribu sembilan ratus), yang tidak berapa lama setelah radium ditemukan oleh Marie dan Pierre Curie pada tahun 1898. Pengertian ”braki” adalah jarak sangat dekat. Pada awalnya ada juga Brakiterapi manual digunakan di Indonesia, namun sejak beberapa tahun yang lalu penggunaannya sudah tidak ada lagi dan semua limbahnya disimpan di Fasilitas Pengelolaan Limbah Radioaktif, BATAN, di Serpong, Propinsi Banten. Alasan tidak digunakannya lagi sumber radioaktif tersebut terutama faktor keselamatan (safety), khusus untuk sumber radioaktif radium-226, ada faktor lain, yaitu biaya (cost) yang sangat mahal dalam pengelolaan limbahnya. Di negara lain, seperti China penggunaan Brakiterapi manual ini masih cukup handal terutama dengan sumber radioaktif I-125. Penggunaan sumber radioaktif terbungkus untuk tujuan brakiterapi ini juga diawasi oleh BAPETEN, meliputi peraturan, perizinan dan inspeksi.
Brakiterapi – Remote Afterloading
Peralatan brakiterapi yang sudah modern (bukan manual) adalah lazim disebut Remote afterloading, merupakan teknik brakiterapi yang dilengkapi dengan sistem remote untuk mendorong sumber keluar dari wadahnya melalui kateter atau wire hingga sumber masuk ke aplikator tepat berada di dalam organ tubuh pasien yang disinari. Setelah waktu penyinaran selesai, sumber ditarik kembali masuk ke wadahnya secara elektromekanik dengan kendali komputer.
Tabel 1. Sumber Radioaktif untuk Remote Afterloading
Radioisotop | Cs-137 | Co-60 | Ir-192 |
Waktu paro (T1/2) | 30 tahun | 5,4 tahun | 74 hari |
Energi (MeV) | 0,66 | 1,17 1,33 | 0,136 1,062 |
Jenis radiasi | Gamma | Gamma | gamma |
Aktivitas efektif (mCi) | 1,5 - 60 | 6 - 14 | 10 -12 |
Waktu efektif | 15 - 30 tahun | 5 - 10 tahun | 3 - 4 bulan |
Sumber Ir-192 merupakan sumber tunggal, sedangkan sumber Cs-137 dan Co-60 merupakan sumber yang banyak (multi sources). Berdasarkan data di Direktorat Perizinan FRZR-BAPETEN Mei 2010, jumlah rumah sakit yang memiliki remote afterloading sebanyak 9 instansi, dan jumlah teleterapi sebanyak 12 unit. LRST paling banyak dihasilkan dari penggunaan remote afterloading dengan sumber Ir-192 karena faktor peluruhan dan umur paro pendek.
Teleterapi
Peralatan radioterapi jenis ini lazim juga disebut Telegamma karena sumber radioaktif yang digunakan adalah pemancar radiasi gamma dan pengertian ”tele” adalah jarak yang relatif panjang, terutama jika dibandingkan dengan pengertian Brakiterapi.
Salah satu ciri LRST adalah zat radioaktif volume kecil berbentuk padat yang terbungkus secara permanen dalam kapsul yang terikat kuat (encapsulated), terbuat dari material densitas tinggi, seperti: logam baja tahan karat, timah hitam dan/atau depleted uranium. Sumber radioaktif dan pembungkus mempunyai batas yang jelas, dan pembungkus berguna sebagai perisai (shielding). Untuk itu parameter kandungan aktivitas yang sesuai adalah aktivitas total. Sebagai contoh, LRST dari penggunaan teleterapi, sumber berbentuk kapsul tersebut berada di dalam wadah sumber (source head) yang terbuat dari uranium susut kadar (depleted uranium) yang bagian dalamnya diberi timah hitam, sebagaimana dalam Gambar 1.
Tabel 2. Sumber Radioaktif untuk Teleterapi
No | Radio-isotop | Waktu Paro (T1/2) | Energi (MeV) | Jenis Radiasi | Aktivitas (Ci) |
1 | Cs-137 | 30 tahun | 0,66 | Gamma | 1.500 – 2.500 |
2 | Co-60 | 5, 4 tahun | 1,17 & 1,33 | Gamma | 2.500 – 12.500 |
Mulai dari beberapa tahun yang lalu, sumber Cs-137 untuk teleterapi tidak digunakan lagi karena alasan faktor keselamatan.
Gambar 1. Wadah Berisi Kapsul Sumber Terbungkus
Radionuklida berada di dalam kapsul dengan diameter 2 cm, yang terbuat dari dua lapis baja tahan karat dan dilas dengan memenuhi standar pengujian tertentu sehingga potensi zat radioaktif bocor tidak mungkin, sebagaimana dalam Gambar 2. Total izin yang sudah diterbitkan BAPETEN untuk pemanfaatan sumber radioaktif terbungkus untuk bidang radioterapi (medik) per 10 Juni 2010 sekitar 76 izin.
Gambar 2. Kapsul Berisi Zat Radioaktif
(Sumber Terbungkus)
LRST dari Penggunaan Industri
Penggunaan sumber radioaktif terbungkus dalam bidang industri sungguh sangat luas meliputi bidang jasa, kendali proses hingga kendali mutu produk dan lebih unggul jika dibandingkan dengan teknik konvensional. Penggunaan teknik nuklir dalam bidang industri meliputi: iradiator, radiografi industri, gauging, logging, perunut, fluoroskopi bagasi, fotofluorografi, dan sebagai barang konsumen. Total izin yang sudah diterbitkan BAPETEN untuk pemanfaatan sumber radioaktif terbungkus untuk bidang industri per 10 Juni 2010 sekitar 3.750 izin.
LRST dari Penggunaan Penelitian
Penggunaan sumber radioaktif terbungkus selain digunakan di bidang medik dan industri juga digunakan di bidang penelitian. Pengertian penelitian ini adalah penggunaan untuk tujuan bukan komersil dimana sumber radioaktif terbungkus untuk penelitian dan pengembangan (litbang), seperti di universitas dan instansi yang paling banyak menggunakan sumber radioaktif terbungkus dalam rangka litbang adalah BATAN. Pada umumnya, sumber terbungkus yang digunakan untuk tujuan litbang adalah yang radioaktivitasnya kecil, namun demikian ada juga milik BATAN, yaitu fasilitas kalibrasi, dan fasilitas iradiasi gamma dengan sumber radioaktif terbungkus cobalt (Co-60) dengan aktivitas yang tinggi. Total izin yang sudah diterbitkan BAPETEN untuk pemanfaatan sumber radioaktif terbungkus untuk bidang penelitian per 10 Juni 2010 sekitar 36 izin. LRST paling banyak dihasilkan dari penggunaan radiografi industri dengan sumber Ir-192 karena faktor feluruhan dan umur paro pendek.
Kegiatan BAPETEN Tahun 2001 Terkait LRST
Limbah Ra-226 sempat menjadi masalah yang cukup pelik mengenai pengelolaan limbahnya di setiap negara anggota IAEA. Dalam masalah yang sedemikian, IAEA memberikan bantuan teknis maupun finansial bagaimana mengelola limbah Ra-226 di dalam suatu fasilitas yang terpusat sebagai fasilitas pengelolaan limbah tingkat nasional. Indonesia melalui BATAN memperoleh bantuan berupa dana dan teknis dari IAEA mengenai pengelolaan limbah radium. Pada kurun waktu sekitar tahun 2002 sampai dengan 2004 dibentuk tim yang bertugas menangani masalah limbah brakiterapi. Pada akhirnya semua sumber Brakiterapi manual baik yang ada di rumah sakit maupun yang disimpan sementara di BPFK-DEPKES diserahkan ke BATAN untuk selanjutnya dikelola di Fasilitas Pengelolaan Limbah Radioaktif BATAN.
Sebagai informasi tambahan yang masih ada kaitannya dengan limbah radioaktif, tahun 2001 ketika itu limbah radioaktif keberadaannya masih ”ambur adul” terutama limbah yang berasal dari kegiatan bidang medik untuk Teleterapi, seperti: Co-60 dan Cs-137 maupun Brakiterapi, seperti: Ra-226, Cs-137 dan Co-60. Demikian halnya limbah radioaktif yang berasal dari kegiatan bidang industri, misalnya Well logging, Radiografi Industri dan Gauging, ditambah masalah yang juga sangat krusial, yaitu limbah radioaktif cair dari pabrik kaus lampu yang mengandung sumber thorium (Th-232) yang kapasitasnya sangat besar.
BATAN mendapat kesempatan yang sangat baik untuk membicarakan masalah limbah radioaktif di suatu forum yang sangat terhormat. Pada tanggal, 20 Maret 2001, ada suatu kegiatan berupa Dialog Pengkayaan Ilmiah Ke-3 Dewan Perwakilan Rakyat RI, Pers dan Publik dengan topik ”MANFAAT DAN RESIKO KECELAKAAN RADIASI DALAM BIDANG RADIOTERAPI” oleh Kementerian Negara Riset dan Teknologi (KMNRT) di Gedung DPR, Jakarta.
Ada 3 (tiga) orang pembicara (keynote speakers) sesuai dengan topik, pertama mengenai ”manfaat radioterapi” dengan pembicara Prof. dr. Jakaria, Sp. Rad (K) Onk. Rad dari RSUPN. dr. Cipto Mangunkusumo, Jakarta mewakili pihak pengguna dan profesi, kedua mengenai ”pengawasan pemanfaatan tenaga nuklir di bidang medik” dengan pembicara Drs Arifin S. Kustiono, MSc, mewakili BAPETEN dan ketiga mengenai ”limbah radioaktif” dengan pembicara Dr. Soediartomo mewakili BATAN.
Kegiatan KMNRT ini merupakan kegiatan rutin tahunan yang sebelumnya adalah Dialog Pengkayaan Ilmiah tentang Gempa. Koordinator kegiatan dari pihak KMNRT dan didukung oleh instansi yang berada dalam lingkup KMNRT, terutama BAPETEN, BATAN dan LIPI. Ide topik kegiatan tersebut diperoleh dari publikasi BAPETEN judul ”Kecelakaan Radiasi yang Terkait dengan Peralatan Radioterapi”, oleh Togap Marpaung, Oktober 2000.
PRINSIP DASAR PENGELOLAAN LIMBAH RADIOAKTIF
Oleh IAEA dalam sejumlah publikasinya menjelaskan bahwa kegiatan pengelolaan limbah radioaktif merupakan paparan terhadap anggota masyarakat (public exposure) sama dengan kegiatan pengangkutan zat radioaktif. Untuk mengendalikan bahaya radiologik dan non-radiologik yang terkandung dalam limbah radioaktif, ada 9 (sembilan) prinsip dasar pengelolaan limbah radioaktif yang harus dipertimbangkan secara terintegrasi, meliputi:
1. Proteksi Kesehatan Manusia
Limbah harus dikelola sedemikian rupa untuk menjamin tingkat proteksi yang dapat diterima bagi kesehatan manusia.
2. Perlindungan Lingkungan Hidup
Limbah harus dikelola sedemikian rupa sehingga memberikan tingkat perlindungan yang dapat diterima bagi lingkungan hidup.
3. Proteksi Melampaui Batas Nasional
Limbah harus dikelola sedemikian rupa untuk memastikan bahwa pertimbangan telah dilakukan terhadap kemungkinan dampak yang diterima oleh kesehatan manusia dan lingkungan, yang melampaui batas nasional.
4. Proteksi untuk Generasi Mendatang
Limbah harus dikelola sedemikian rupa sehingga dampak yang diperkirakan untuk generasi mendatang tingkatnya tidak lebih besar dari dampak yang dapat diterima generasi saat ini.
5. Beban Generasi Mendatang
Limbah harus dikelola sedemikian rupa sehingga tidak menjadi beban yang tidak semestinya bagi generasi mendatang.
6. Kerangka Hukum Nasional
Limbah harus dikelola dalam kerangka hukum yang tepat meliputi pembagian tanggung jawab dan ketentuan yang jelas untuk terwujudnya fungsi pengawasan yang mandiri.
7. Pengendalian Timbulnya Limbah Radioaktif
Timbulnya Limbah harus diupayakan seminimal mungkin yang dapat dicapai.
8. Saling Ketergantungan dalam Penimbulan dan Pengelolaan Limbah Radioaktif
Saling ketergantungan antar seluruh tahapan dalam penimbulan dan pengelolaan limbah harus diperhitungkan secara tepat
9. Keselamatan Fasilitas
Keselamatan fasilitas untuk pengelolaan limbah harus dijamin sesuai ketentuan selama umur fasilitas tersebut.
Prinsip dasar pengelolaan limbah radioaktif ini berlaku juga untuk LRST sebab LRST merupakan salah satu jenis dari unsur limbah radioaktif itu sendiri, sebagaimana diuraikan dalam ketentuan umum UU No.10 Tahun 1997. Limbah Radioaktif adalah zat radioaktif dan atau bahan serta peralatan yang telah terkena zat radioaktif atau menjadi radioaktif karena pengoperasian instalasi nuklir yang tidak dapat digunakan lagi.
Pengertian Pengelolaan limbah radioaktif yang ditetapkan dalam UU No. 10 Tahun 1997 secara substansi adalah sama dengan yang direkomendasikan oleh IAEA (yang akan diatur dalam amendemen PP No. 27 Tahun 2002), sebagaimana dalam Tabel 3 pada akhir makalah ini. Agar keseluruhan prinsip dasar pengelolaan limbah radioaktif ini dapat diterapkan secara konsisten sesuai ketentuan untuk semua tahap kegiatan, (dimulai dari pengumpulan, pengelompokan, pengolahan, pengangkutan dan/atau pembuangan) maka limbah radioaktif harus diklasifikasi dengan suatu metode.
Klasifikasi Limbah Radioaktif
Pengklasifikasian limbah radioaktif dapat berbeda antara satu negara dengan negara lain asalkan berbasis pada prinsip dasar pengelolaan limbah tersebut. Dalam UU No. 10 Tahun 1997 ditetapkan bahwa klasifikasi limbah radioaktif dibagi atas 3 (tiga) jenis, meliputi:
1. Limbah Tingkat Rendah (Low Level Waste - LLW);
2. Limbah Tingkat Sedang (Intermediate Level Waste - ILW); dan
3. Limbah Tingkat Tinggi (High Level Waste - HLW)
Ketiga jenis klasifikasi limbah ini sudah mencakup keseluruhan spektrum limbah pada umumnya, termasuk LRST hingga pembuangan (disposal). Agar harmonis dengan rekomendasi IAEA dan selaras dengan prinsip dasar pengelolaan limbah radioaktif maka terjadi perubahan pengklasifikasian hanya untuk Limbah Tingkat Rendah yang dibagi lagi menjadi 3 (tiga) tingkat, terdiri dari:
a. Limbah Umur Sangat Pendek (very short lived waste - VSLW);
b. Limbah Tingkat Sangat Rendah (very low level waste - VLLW); dan
c. Limbah Tingkat Relatif Rendah (relative low level waste - RLLW).
Secara lengkap klasifikasi limbah pada umumnya termasuk LRST menjadi:
1. Limbah Tingkat Rendah (Low Level Waste - LLW);
a. Limbah Umur Sangat Pendek (very short lived waste - VSLW);
b. Limbah Tingkat Sangat Rendah (very low level waste - VLLW); dan
c. Limbah Tingkat Relatif Rendah (relative low level waste - RLLW).
2. Limbah Tingkat Sedang (Intermediate Level Waste - ILW); dan
3. Limbah Tingkat Tinggi (High Level Waste - HLW).
Dengan demikian, klasifikasi limbah yang baru ini tetap mengacu pada UU Nomor 10 Tahun 1997, klasifikasi inilah yang akan ditetapkan dalam amendemen PP Nomor 27 Tahun 2002. Pengelolaan limbah LRST akan bergantung pada penetapan klasifikasi limbah radioaktif untuk selanjutnya ditentukan kriteria pembuangan (disposal) LRST.
Metode Klasifikasi Limbah Radioaktif
IAEA memberikan beberapa alternatif parameter sebagai kriteria pengelompokan limbah ke dalam salah satu dari 5 (lima) tingkatan klassifikai LRST. Berdasarkan kajian oleh tim amendemen PP Nomor 27 Tahun 2002 terhadap literatur IAEA Safety Standards, Classification of Radioactive Waste, No. GSG-1, ada 2 (dua) parameter utama sebagai kriteria kuantitatif pengklasifikasian limbah radioaktif, yaitu: waktu paro (T1/2) dan kandungan aktivitas radionuklida, yang meliputi konsentrasi aktivitas (Ac), aktivitas total (At) dan aktivitas jenis (Asp).
IAEA tidak menggariskan secara tegas perihal penerapan kedua parameter kuantitatif tersebut ke dalam suatu metode klasifikasi. Pendekatan kuantitatif dari IAEA hanya disajikan dalam bentuk grafik “konsentrasi aktivitas vs waktu paro”, seperti pada Gambar 3, dengan kedua sumbu koordinat terukur dalam skala logaritmik dan hanya ditandai dengan beberapa nilai acuan untuk membantu interpretasi grafik.
Dari penjelasan dalam referensi tersebut dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya tidak ada nilai-nilai batas kuantitatif (aktivitas dan waktu paro) yang dapat berlaku secara generik untuk semua model klasifikasi limbah. Penentuan nilai batas secara presisi nampaknya diserahkan kepada negara anggota agar dapat disesuaikan dengan kemampuan dan prioritas setiap negara. Tim Penyusunan Konsepsi telah menentukan nilai-nilai dengan menginterpretasikan grafik berdasarkan asal dan jenis limbah, diperoleh metode klasifikasi limbah radioaktif termasuk LRST sebagai berikut:
1. Limbah Tingkat Rendah (LLW), terbagi atas 3 tingkat sebagai berikut:
a. Limbah Umur Sangat Pendek (Very Short Lived Waste-VSLW), berlaku untuk limbah sumber radioaktif terbungkus dengan batasan waktu paro lebih dari atau sama dengan 150 hari;
b. Limbah Tingkat Sangat Rendah (Very Low Level Waste-VLLW), berlaku untuk limbah sumber radioaktif terbungkus dengan batasan:
i. jika waktu paro lebih dari 15 tahun, maka batasan Aktivitas lebih besar dari 105 Bq tetapi lebih kecil dari 107 Bq; dan
ii. jika waktu paro lebih dari 15 tahun tetapi kurang dari 30 tahun, maka batasan Aktivitas lebih besar dari 104 Bq tetapi lebih kecil dari 105 Bq;
c. Limbah Tingkat Relatif Rendah (Relative Low Level Waste-RLLW), berlaku untuk limbah sumber radioaktif terbungkus dengan batasan sebagai berikut:
i. jika waktu paro lebih dari 15 tahun, maka batasan Aktivitas lebih besar dari 107 Bq tetapi lebih kecil dari 108 Bq; atau
ii. jika waktu paro lebih dari 15 tahun tetapi kurang dari 30 tahun, maka batasan Aktivitas lebih besar dari 105 Bq tetapi lebih kecil dari 106 Bq;
2. Limbah Tingkat Sedang (Intermediate Level Waste-ILW), berlaku untuk limbah sumber radioaktif terbungkus dengan batasan sebagai berikut:
i. jika waktu paro kurang dari 15 tahun, maka batasan Aktivitas lebih besar dari 100 MBq tetapi lebih kecil dari 100 TBq;
ii. jika waktu paro lebih dari 15 tahun tetapi kurang dari 30 tahun, maka batasan Aktivitas lebih besar dari 1 MBq tetapi lebih kecil dari 1 PBq; dan
iii. jika waktu paro lebih dari 30 tahun, maka batasan Aktivitas lebih besar dari 40 MBq tetapi lebih kecil dari 10 GBq.
3. Limbah Tingkat Tinggi (High Level Waste-HLW), berlaku untuk limbah sumber radioaktif dengan batasan waktu paro lebih dari 5 tahun dan batasan Aktivitas lebih besar dari 400 TBq.
Semua LRST dengan waktu paro lebih dari 30 tahun tidak termasuk Limbah Tingkat Relatif Rendah (RLLW).
Pembuangan Limbah Radioaktif
Sebagaimana ditetapkan dalam PP. No. 27 Tahun 2002 bahwa, setiap orang atau badan yang akan melakukan pemanfaatan tenaga nuklir wajib menyatakan kepada Badan Pengawas (BAPETEN) bahwa limbah radioaktif akan dikembalikan ke negara asal atau diserahkan kepada Badan Pelaksana (BATAN) untuk dikelola. Dengan demikian dapat dimaknai bahwa Penghasil LRST tidak boleh melakukan Klierens dan tidak perlu melakukan tahapan pengelolaan limbah sesuai Kriteria Keberterimaan. Oleh karena itu, LRST yang diserahkan kepada Pengelola Limbah Radioaktif (BATAN) akan menjadi tanggung jawabnya dan selanjutnya dilakukan pra-disposal yang akhirnya tindakan disposal.
Setelah melalui penyimpanan sementara, LRST dapat diklasifikasi ulang dengan metode klasifikasi. BATAN akan memutuskan opsi disposal LRST sebagai berikut:
1. Limbah Tingkat Sangat Rendah (Very Low Level Waste-VLLW): cukup disimpan dalam landfill disposal dimana kedalaman disposal tersebut cukup dekat dengan permukaan tanah (kurang dari 5 meter).
2. Limbah Tingkat Relatif Rendah (Relative Low Level Waste-RLLW: disimpan dalam low near surface disposal, kedalaman disposal 5 sampai 30 meter. Untuk beberapa limbah dengan radionuklida pemancar gamma dapat memerlukan penahan radiasi. Waktu pengendalian disposal hingga 300 tahun.
3. Limbah Tingkat Sedang (Intermediate Level Waste-ILW): disimpan dalam intermediate depth disposal, bila kedalaman disposal 30 sampai 300 meter, memerlukan penahan radiasi dan waktu pengendalian lebih lama dari 300 tahun, serta dilengkapi pendingin jika diperlukan.
4. Limbah Tingkat Tinggi (High Level Waste-HLW: disimpan dalam deep geological disposal, dengan kedalaman disposal lebih dari 300 meter, memerlukan penahan radiasi, dan waktu pengendalian lebih lama dari 300 tahun, serta memerlukan pendingin.
Prinsip Dasar Ke-7 Pengelolaan Limbah Radioaktif
Prinsip dasar ke-7 pengelolaan limbah radioaktif adalah “Pengendalian Timbulnya Limbah Radioaktif” yang berarti “timbulnya Limbah harus diupayakan seminimal mungkin yang dapat dicapai”. Hal ini dapat diartikan sebagai upaya minimisasi limbah radioaktif. IAEA merekomendasikan prinsip minimisasi (reduce) volume LSRT, dengan cara:
1. menggunakan radionuklida berumur paro relatif pendek sehingga sumber radioaktif akan cepat meluruh ke tingkat aktivitas yang relatif kecil.
2. menggunakan kembali (reuse) dan mendaur-ulang (recyle) sumber radioaktif dan peralatan tersebut.
Minimisasi limbah adalah suatu langkah penting dalam pengelolaan limbah dan pengendalian risiko potensial. Implikasi minimisasi limbah yang dihasilkan harus dikaji sebagai bagian dari kajian keselamatan. Untuk alasan keselamatan, bahan yang tidak diperlukan, misalnya pembungkus peralatan, seharusnya tidak boleh dimasukkan ke dalam rezim pengendalian secara radiologik. Hal ini dapat mengurangi potensi limbah radioaktif yang dihasilkan dan mengurangi penyebaran kontaminasi dan minimisasi volume limbah.
Aspek penting lain minimisasi limbah radioaktif adalah menggunakan jumlah zat radioaktif seminimum mungkin sesuai dengan pencapaian tujuan aplikasinya. Oleh karena pertimbangan tersebut seharusnya diberikan opsi untuk membatasi jumlah zat radioaktif yang digunakan dalam setiap kegiatan tertentu. Apabila dimungkinkan, ketika pembelian sumber terbungkus, kesepakatan kontrak harus mengatur ketentuan pengembalian sumber ke pihak pabrikan. Hal ini penting sekali dilakukan khususnya untuk sumber radioaktif yang aktivitasnya tinggi, dan berumur panjang. Sedangkan untuk sumber radioaktif dengan aktivitas rendah dan berumur paro pendek dikirim ke Pengelola Limbah Radioaktif dalam negeri.
Penggunaan kembali (reuse) dan/atau pendaur-ulangan (recycle) zat radioaktif harus dipertimbangkan sebagai suatu alternatif untuk disposal jika dimungkinkan. Keselamatan penggunaan kembali dan/atau pendaurulangan harus dikaji sebelum “operasi” dimulai, risiko yang dapat terjadi, dan ketentuan yang dipersyaratakan oleh badan pengawas harus dipenuhi.
KESIMPULAN
Dalam kegiatan amendemen PP No.27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif, Tim Konsepsi sudah menyusun klasifikasi limbah radioaktif yang baru sesuai dengan rekomendasi IAEA. Konsepsi tersebut masih sesuai dengan amanat Undang-Undang No.10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran.
LRST akan lebih mudah dikelola karena klasifikasi limbah radioaktif dapat ditentukan berdasarkan nilai-nilai aktivitas dan waktu paro yang diperoleh dari interpretasi grafik antara aktivitas vs waktu paro.
Salah satu cara untuk minimisasi LRST adalah dengan menerapkan kebijakan bahwa untuk LRST dengan aktivitas relatif tinggi dan umur paro panjang seharusnya di re-ekspor ke negara asal jika penerapan recycle belum dapat dilakukan oleh BATAN.
Untuk LRST dengan aktivitas rendah dan waktu paro pendek seharusnya pihak Pengguna menyerahkan LRST ke Pengelola Limbah Radioaktif, sehingga pihak Pengguna dari bidang industri dan medik tidak perlu mengeluarkan biaya administrasi dan biaya re-ekspor ke negara asal yang cukup mahal. Sebagai contoh, penggunaan sumber terbungkus Ir-192 untuk radiografi industri dan brakiterapi-remote afterloading.
Dengan penerapan kebijakan ini maka prinsip dasar ke-7 pengelolaan limbah radioaktif yaitu: “Pengendalian Timbulnya Limbah Radioaktif”, akan terpenuhi.
Direkomendasikan agar BATAN dapat membuat secara praktis metode klasifikasi LRST dalam sebuah diagram alir, sehingga pengklasifikasian limbah dan verifikasinya dapat dilakukan secara otomatis dengan program komputer.
Demikian halnya pengawasan untuk LRST yang dilakukan oleh BAPETEN akan menjadi lebih mudah sehingga aspek keselamatan radiasi maupun aspek keamanan sumber radioaktif dapat dipatuhi oleh pihak Pengguna dan Pengelola Limbah Radioaktif sesuai ketentuan.
DAFTAR PUSTAKA
Badan Pengawas Tenaga Nuklir, 1998, Undang-undang No. 10 Tahun 1997 tentang Ketenaganukliran, Jakarta.
Marpaung, T; 2000, Kecelakaan Radiasi yang Terkait dengan Peralatan Radioterapi, Jakarta, Badan Pengawas Tenaga Nuklir.
IAEA, 2005, Management of Waste from the Use of Radioactive Material in Medicine, Industri, Agriculture, Research and Education, Waste, IAEA Safety Standard Series No. WS-G-2.7, Viena.
Marpaung, T; 2009, Pengawasan Keselamatan Radiasi di Fasilitas Brakiterapi, Jakarta, Badan Pengawas Tenaga Nuklir.
IAEA, 2009, Classification of Radioactive Waste, IAEA Safety Standard Series No. GSG-1, Viena.
Badan Pengawas Tenaga Nuklir, 2009, Konsepsi Amendemen PP. No. 27 Tahun 2002 tentang Pengelolaan Limbah Radioaktif, Jakarta.
0 komentar:
Posting Komentar
Jika Anda berkenan memberikan komentar, silahkan pilih
"Beri komentar sebagai : Nama/URL"
Kemudian tulis nama Anda dan jika Anda tidak memiliki URL(situs pribadi), biarkan kosong.